Senin, 06 September 2010

Golongan Yang Selamat Dalam Islam: Golongan Mana?

GOLONGAN YANG SELAMAT DALAM AL-QUR’AN

Orang sekarang ini dengan mudah mengklaim golongan dan jamaahnya sebagai golongan dan jamaah yang selamat. Selain pengikut jamaahnya adalah sesat dan tidak selamat. Karena hal ini, banyak orang yang “kebingungan dalam beragama”, dan sangat mungkin akan timbul pertanyaan dalam diri kita: “Siapakah seseungguhnya golongan yang selamat itu?”

Dalam Surat al Fathihah, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa manusia terbagi atas tiga golongan, yaitu:

    1. Golongan yang berada di Shiraath al Mustaqiim.
    2. Golongan yang Dimurkai.
    3. Golongan yang Sesat.

Mengacu kepada ayat tersebut sesungguhnya sangat jelas sekali, bahwa golongan yang selamat adalah mereka yang berada di Shiraath al Mustaqiim. Mereka adalah orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah Ta’ala, yang dijelaskan dalam (QS 4:69), bahwa:

“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: An-Nabiyyin, Ash-Shiddiiqiin, Asy-Syuhadaa (QS 57:19) dan Ash-Shalihiin (QS 19:9). Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS. 4:69)”

Tapi pertanyaannya, di masa ini, kelompok yang manakah yang sedang berada di atas Shirat Al-Mustaqiim itu? Kita akan membahas ini di akhir artikel.


SHIRATH AL-MUSTAQIIM

Banyak orang menganggap bahwa Shiraath Al-Mustaqiim ini ‘abstrak’ dan hanya akan dapat ditemui di akhirat. Dalam Al Qur’an Shiraath Al Mustaqiim dijelaskan sebagai:

1. Ad-Diin (Agama) yang tegak

Ketika seorang beragama, dan dalam pelaksanaan agamanya ia belum berada di atas Shirath Al Mustaqiim, sesungguhnya agamanya itu belum tegak (hakiki).

“Dan apabila ia telah berada di atas Shirath Al Mustaqiim, maka sesungguhnya agama dalam dirinya telah tegak.” (QS 6:161)

Shiraath akar katanya berarti tertelan (menurut Quraish Shihaab), Al Mustaqiim berarti adalah orang yang berada dalam keadaan istiqamah (mantap/konsisten). Artinya, orang yang berada di Shiraath Al Mustaqiim, adalah orang yang telah tertelan dalam keistiqamahan kepada jalan Allah. Tidak akan lagi bergeser kepada kekufuran.

Orang yang berada di atas Shirath Al Mustaqiim dijaga oleh Allah Ta’ala dari mengarah kepada kesalahan, dimana penjagaannya bagaikan dipegangnya ubun-ubun binatang melata. (lihat Q.S 11:56). Dan sesungguhnya Allah Ta’ala yang menjaga Shiraath Al Mustaqiim (lihat Q.S 15:41).

2. Jalan Orang yang Diberi Nikmat

Karena orang-orang yang berada di atas Shirath Al Mustaqiim, dijaga oleh Allah Ta’ala dari kesalahan, maka mereka inilah orang-orang yang diberi nikmat. (Q.S 1:7)

Untuk itu nikmat disini bukanlah sekedar nimat kesehatan, nikmat harta benda, dsb. Tetapi jauh lebih besar dari itu, adalah nikmat dijaga oleh Allah Ta’ala dari segala kesalahan dan hidup bersama Allah Ta’ala, karena Allah Ta’ala pun berada di atas Shiraath Al Mustaqiim (Q.S 11:56).

3. ‘Jalan’ Allah

Orang yang selamat hanyalah mereka yang berada di atas Shiraath al Mustaqiim. Shiraath al Mustaqiim inilah sesungguhnya merupakan ‘jalan’ Allah.

Ibnu Mas’ud meriwayatkan, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam membuat garis dengan tangannya lalu bersabda, ‘Ini Shiraath al Mustaqiim’. Lalu beliau membuat garis-garis di kanan kirinya, kemudian bersabda, ‘Ini adalah jalan-jalan yang sesat tak satupun dari jalan-jalan ini kecuali di dalamnya terdapat setan yang menyeru kepadanya. Selanjutnya beliau membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, ‘Dan bahwa ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan oleh Allah kepadamu agar kamu bertakwa.’(QS 6:153)” (Hadits shahih riwayat Ahmad dan Nasa’i)

MENUJU SHIRATH AL-MUSTAQIIM

Untuk menuju Shiraath al Mustaqiim, Allah Ta’ala telah dengan jelas menginformasikan kepada kita tentang prosesnya di al Qur’an. Media Allah Ta’ala membimbing seorang manusia menuju Shiraath Al Mustaqiim adalah dengan petunjuk-Nya.

Petunjuk Allah Ta’ala ada 2 (dua) jenis: (1) Petunjuk Umum dan (2) Petunjuk Khusus.

Petunjuk Umum, adalah Al Qur’an yang merupakan petunjuk untuk seluruh manusia. Sedangkan Petunjuk Khusus, adalah petunjuk yang Allah Ta’ala turunkan kepada manusia secara individual, orang perseorangan langsung ke dalam qalbunya.

Petunjuk khusus ini akan Allah Ta’ala turunkan apabila seorang manusia menjalankan substansi nilai-nilai yang dipandu dalam Petunjuk Umum. Tahapan-tahapan ini dijelaskan dalam ayat berikut:

“Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke Subulussalam, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke Shiraath al Mustaqiim. (Q.S. 5:16)

Petunjuk langsung ke qalb

Sayangnya kebanyakan manusia –karena ia tidak merasakannya- memungkiri bahwa sesungguhnya manusia dapat menerima petunjuk langsung dari Allah Ta’ala melalui qalbunya. Mereka menganggap bahwa yang bisa menerima petunjuk langsung dari Allah Ta’ala hanyalah para Nabi, dan hal itu telah tertutup dengan khatamnya para Nabi. Padahal ayat-ayatnya sudah demikian jelas di al Qur’an.

“Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk langsung kepada qalbunya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q. S. 64:11)

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shaleh, mereka diberi petunjuk oleh Rabb mereka karena keimanannya.” (Q.S. 10:9)

Dan sesungguhnya apabila kita tidak termasuk dalam golongan yang mendapat petunjuk Allah kepada Shiraath al Mustaqiim, niscaya kita hanya akan termasuk ke dalam golongan yang sesat.

“Sesungguhnya jika Rabbku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat”. (Q.S. 6:77)

Untuk terpimpin kepada Shiraath Al Mustaqiim, syaratnya adalah mampu mendapat petunjuk langsung dari Allah ta’ala, dan syarat untuk mendapat petunjuk langsung itu adalah iman. Namun iman yang bagaimana? Apakah iman yang sekedar definisi-definisi dan dalil-dalil? Jawabannya adalah “Bukan!”.

Iman yang menjadi syarat seorang mendapat petunjuk dari Allah Ta’ala, adalah iman yang berupa cahaya, yang Allah Ta’ala anugerahkan kepada manusia sebagai rahmat (pertolongan)-Nya untuk mensucikan qalbunya.

“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman).” (Q.S. 2:257)

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kami. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. 57:28)

Dan bagaimana sesungguhnya untuk mendapatkan cahaya iman tersebut? Allah berkata, syaratnya adalah Islam.

“Orang-orang Arab (badui) itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah (kepada mereka):” Kamu belum beriman, tetapi katakanlah ‘kami islam’, karena iman itu belum masuk ke dalam qalbumu.” (Q.S. 49:14)

Dari ayat di atas, dapat kita cermati bahwa tampaknya mereka yang ber-islam tidak serta merta langsung menjadi beriman. Mereka yang Islam bisa jadi belum beriman, karena Islam dan Iman merupakan dua tahap yang berkelanjutan/sekuensial.

“Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah qalbunya (untuk) ber-Islam lalu ia mendapat cahaya dari Rabbnya (sama dengan orang yang membatu hatinya).” (QS. 39:22)

Namun Islam, bukanlah sekedar “formal Islam”- nya, tetapi lebih dalam dari itu adalah menjalankan substansinya, yaitu: penyerahan diri kepada Allah. (Catatan: Islam secara dasar kata berarti berserah diri). Dan inilah sesungguuhnya substansi dasar ajaran Ilahiyah yang termaktub dalam al Qur’an.

PESAN UTAMA AJARAN ILAHIYYAH

Allah Ta’ala mengutus setiap utusannya, sejak zaman Adam as sampai Nabi Muhammad SAW, adalah untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah Ta’ala. Lihatlah ayat-ayat Al Qur’an berikut ini:

Nuh A.S

“Jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah sedikitpun daripadamu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan aku (Nuh A.S) disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (kepada-Nya)”. (Q.S. 10:72).

Ibrahim A.S

“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik”. (Q.S. 3:67).

Musa A.S

“Berkata Musa: “Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri“. (Q.S. 10:84).

Ya’qub A.S

“Dan Ya’qub berkata:”Hai anak-anakku janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lain; namun demikian aku tiada dapat melepaskan kamu barang sedikitpun daripada (takdir) Allah. Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nyalah aku bertawakal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakal berserah diri“. (Q.S. 12:67).

Sulaiman A.S

“Berkatalah Balqis:”Ya Rabbku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Rabb semesta alam”. (Q.S. 27:44).

Isa A.S

“Aku (Isa A.S) tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku yaitu:”Sembahlah Allah, Rabbku dan Rabbmu”, dan adalah aku menjadi saksi (syahiidan) terhadap mereka”. (Q.S.5 :117).

“Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka berkatalah dia:”Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk Allah” Para hawariyyin menjawab:”Kamilah penolong-penolong Allah. Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri.” (Q.S. 3:52).

Muhammad SAW

“Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu baginya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku (Muhammad SAW)adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. (Q.S. 6:162-163)

“Katakanlah: “Sesungguhnya aku diperintah supaya aku menjadi orang yang pertama kali menyerah diri (kepada Allah)”. (Q.S. 6:14)

Penyerahan diri kepada Allah dengan sepenuh hati dimana seluruh aspek kehidupan diperuntukkan untuk Allah (yang mempunyai 99 asma) semata, merupakan pesan utama ajaran ilahiyah. Sehingga disampaikan oleh para utusan- Nya setiap zaman.

Berserah Diri dengan tulus ikhlas dalam setiap aspek adalah kondisi dimana seseorang bersedia diatur sepenuhnya oleh Allah (menjadi budak Allah Ta’ala), tidak mengatur dirinya sendiri dengan hawa nafsu dan syahwatnya. Ajaran (Ad- Diin) yang dibawa oleh Muhammad SAW adalah Ad-Diin Berserah Diri kepada Allah Ta’ala untuk itulah dinamakan Ad-Diin Al Islam. Ikhlas menyerahkan diri kepada Allah dan muhsin, itulah Ad-Diin yang paling baik.

“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.” (Q.S. 4:125)

Berserah Diri kepada Allah Ta’ala dan muhsin, maka ia telah berpegang teguh kepada Allah Ta’ala.

“Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan.” (Q.S. 31:22)

Keberserahan diri kepada Allah Ta’ala ditopang oleh empat sendi utama, yaitu: Sabar, Syukur, Tawakal dan Ikhlas. Bagaimana mungkin seorang akan menjadi seorang muslim yang utuh, apabila qalbunya tiada pernah bersabar atas segala masalah hidupnya? Selalu mengeluh dan tiada pernah bersyukur terhadap segala hal yang Allah berikan kepadanya?

GOLONGAN YANG SELAMAT MENURUT HADITS RASULULLAH

Dari Sahabat Abdullah bin Amr bin Ash r.a :

“Telah bersabda Rasulullah SAW : ” Sungguh-sungguh akan datang atas umatku sebagaimana yang telah datang pada Bani Israil, sebagaimana sepasang sandal yang sama ukurannya, sehingga kalau dulunya pernah ada di kalangan Bani Israil orang yang menzinai ibunya terang-terangan niscaya akan ada diumatku ini yang melakukan demikian. Dan sesungguhnya Bani Israil telah terpecah menjadi 72 golongan dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua mereka bakal masuk neraka kecuali satu golongan yang selamat. Para shahabat bertanya: “Siapakah mereka yang selamat itu ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab: ” yaitu golongan yang mengikuti Aku ada padanya pada hari ini dan yang mengikuti para Sahabatku.”

Hadits ini diriwayatkan lengkap oleh Tirmidzi, diterangkan pula oleh Hakim juz yang pertama, Ibnu Wadhoh, Imam Al-Azurri dalam kitabnya As- Syari’ah, Ibnu Nasr Al-Marwaji dalam kitabnya As- Sunnah Al-Laalikai, Abdul Qahir Al-Baghdadi dalam kitabnya Al-Faruq bainal Firaq) Hadits ini dikatakan oleh Tirmidzi HASAN GHARIB, Hadits ini dihasankan oleh Tirmidzi bukan karena secara sanad shahih, tetapi menghasankan karena Syawahidnya yang banyak. Hadits ini HASAN.

Dari Sahabat Abu Hurairah r.a : “Yahudi telah berpecah menjadi 71 golongan, dan Nasrani telah berpecah menjadi 72 golongan, dan akan berpecah umatku menjadi 73 golongan.” (Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Al-Azzuri, Hakim, Ahmad, Abu Ya’la, Ibnu Abi Asim)

Dan Tirmidzi berkata hadits ini HASAN SHAHIH. Hakim berkata SOHIHUN ala Shahih Muslim dan disetujui oleh Ad-Dzahabi.

Dari Sahabat Auf Bin Malik r.a : “Yahudi berpecah menjadi 71 golongan, 1 masuk sorga dan 70 masuk neraka. Dan Nasrani berpecah menjadi 72 golongan, 71 masuk neraka dan 1 masuk sorga, Dan demi yang diri Muhammad ada ditangan-Nya, sesungguhnya umatku sungguh-sungguh akan berpecah menjadi 73 golongan, 1 di sorga dan 72 di neraka; kemudian sahabat bertanya: ‘Ya Rasulullah, siapa mereka yang selalu satu itu yang masuk dalam surga (Wahidatun Fil Jannah)?, dijawab oleh Nabi SAW, yaitu ‘Al-Jama’ah‘” (Ibnu Majah, Ibnu Abi Asim dalam As-Sunnah, Imam Al-Laalikai)

Hadits ini di SHAHIH-kan oleh para ulama.

“Aku wasiatkan padamu agar engkau bertakwa kepada Allah, patuh dan ta’at, sekalipun yang memerintahmu seorang budak Habsyi. Sebab barangsiapa hidup (lama) di antara kamu tentu akan menyaksikan perselisihan yang banyak. Karena itu berpengang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa’ur rasyidin yang (mereka itu) mendapat petunjuk. Pegang teguhlah ia sekuat-kuatnya. Dan hati-hatilah terhadap setiap perkara yang diada-adakan, karena semua perkara yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat (dan setiap yang sesat adalah tempatnya di dalam Neraka).” (H. R. Nasa’i dan At-Tirmidzi, ia berkata hadits ini hasan shahih).

Dalam hadits yang lain Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahli kitab telah berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan sesungguhnya agama ini (Islam) akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua golongan tempatnya di dalam Neraka dan satu golongan di dalam Surga, yaitu Al-Jama’ah.” (HR. Ahmad dan yang lainya. Al-Hafidz menggolongkannya hadits hasan)

Dalam riwayat lain disebutkan,

“Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para shahabatku meniti di atasnya.” (HR. Ahmad dan yang lainya. dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ 5219).

Dari keterangan diatas, pola apa yang terlihat? Di masa yahudi, dari 71 golongan, 70 tidak selamat dan 1 selamat. Pada masa berikutnya, Nasrani, dari 72 golongan, 71 tidak selamat dan 1 selamat. Pada masa selanjutnya, dari umat Rasul SAW terbagi menjadi 73 golongan, 72 tidak selamat dan 1 selamat. Lihatlah, betapa di setiap pergantian ajaran kenabian selalu bertambah satu golongan yang tidak selamat, sedangkan yang selamat tetap satu saja.

Golongan yang selamat menurut hadits Rasululah.

Sesungguhnya satu golongan yang selamat sejak dulu Yahudi, Nasrani dan Umat Muhammad SAW adalah sama. Tidak berubah. Merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk Allah langsung ke Qalbu, sehingga terpimpin ke Shiraath Al Mustaqiim (jalan Allah yang lurus).

Kenapa setiap pergantian ajaran Nabi bertambah satu golongan? Karena satu golongan itu adalah golongan yang hanya menjadi merasa bangga dengan formal golongannya, tetapi substansi ajaran agama Ilahi dilupakannya atau tidak dikenalnya.

Satu golongan yang selamat adalah Al Jamaah, merekalah yang Rasulullah SAW dan sahabat berada di atasnya. Secara eksplisit dalam Al Qur’an dikatakan merekalah orang yang berada di atas Shiraath Al Mustaqiim, siapapun ia dan darimana pun asal (nama) jamaahnya.

Yang selamat bukanlah nama sebuah jamaah, apakah tasawuf, tarekat A, tarekat B, Syiah, Sunni, Ikhwan al Muslimin, Hizbut Tahrir, Salafy, Muhammadiyah, NU, atau apapun namanya. Siapapun orangnya, apakah berasal dari Tasawuf, tarekat A, tarekat B, Syiah, Sunni, Ikhwan al Muslimin, Hizbut Tahrir, Salafy, Muhammadiyah, NU dan sebagainya. Kalaulah ia mendapat petunjuk langsung dari Allah dan terpimpin ke Shirath Al Mustaqiim, maka dia termasuk dalam Al Jamaah.

Al-Jama’ah

Karakter mereka sejak zaman Adam, Yakub, Musa, Isa, Muhammad adalah sama. Merekalah yang mencintai Allah lebih dari dunia. Merekalah orang-orang yang mampu menggembalakan hawa nafsu dan syahwatnya (bahkan mampu menggembalakan hawa nafsu dan syahwat dirinya dalam ber-’agama’).

“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)”. (Q.S. 79:40-41)

Merekalah orang mati dalam keadaan berserah diri (al muslimuun).

“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’kub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan berserah diri (kepada Allah)”. (Q.S. 2:132)

“Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, ‘Isa dan para nabi dari Rabb mereka. Kami tidak membedabedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada- Nya-lah kami menyerahkan diri. (Q.S. 3:84)

Dimensi Batin Ibadah Shalat

Dimensi Batin Ibadah Shalat

Oleh Kuswandani Yahdin, Yayasan Paramartha.

Kehidupan mempunyai banyak dimensi, banyak lapis dan fase. Di satu sisi, semuanya dapat berpadu bersama dalam meneruskan interaksi dinamis satu sama lainnya. Kehidupan adalah suatu perpaduan (integrasi) dari kesemuanya. Akan tampak bodoh bila kemudian ada usaha memisah-misahkan dan menganalisis kehidupan sebagaimana para ilmuwan sering melihat sesuatu hanya dalam satu bidang (sudut pandang) mikroskopik, melihat sesuatu hanya dalam satu dimensi saja, yang akan membuat pandangan menjadi timpang dan tidak seimbang. Atau melihat dengan sudut pandang teleskopik, yang juga akan membawa pada generalisasi yang terlalu umum sehingga justru terjadi reduksionisme yang simplistik.

Hidup dengan menggunakan visi teropong maupun mikroskop, beresiko membawa sudut pandangnya menjadi sempit dan tidak seimbang, karena hanya mementingkan satu aspek kehidupan dan kemudian mengabaikan aspek-aspek lainnya. Akibat dari ketidakproporsionalan cara pandang dan ketidakseimbangan ini jelas amat berbahaya: yaitu terbelahnya pribadi dan masyarakat, sebagaimana orang yang hidup dalam satu dimensi saja, atau seraya mengabaikan keutuhan kehidupan.

Sebagai contoh sederhana, misalnya seorang dokter yang hanya melihat dan mengobati penyakit dari gejala fisik tapi sama sekali mengabaikan faktor psikologis pasien. Atau seorang yang semata-mata melihat kepadatan penduduk hanya sebagai angka statistik dan mengabaikan psikologi masyarakat, sehingga diciptakannyalah transmigrasi sekelompok masyarakat berkepribadian keras, dipaksakan untuk hidup dalam wilayah masyarakat yang menjunjung tinggi kesopanan dan tatakrama. Pada ujungnya, dua kelompok masyarakat tadi justru saling membunuh satu sama lain. Di sepanjang zaman, manusia terlihat terbelenggu dalam kebodohan semacam ini, hanya saja dalam skala yang berbeda-beda.

Ada satu hal lain dalam dimensi kehidupan kita ketika seorang manusia tengah mencari apa yang disebut dengan kebahagiaan sejati. Kebahagiaan, ternyata tidak dapat dijamin oleh limpahan harta duniawi ataupun kedudukan di mata manusia. Kebahagiaan yang sangat tidak dapat diukur oleh banyaknya rasa senang. Kebahagiaan sejati yang sebenarnya, bukanlah manusia yang dapat menciptakannya.

Kebahagiaan sejati akan dapat dirasakan ketika Dzat Yang Maha Kuasa pencipta takdir, pencipta kehidupan turun menganugerahkan kepada kita, yang kadangkala –kalau tidak disebut seringkali— hadir tidak lewat keadaan yang kasat mata, namun akan terasakan di dalam diri kita, di dalam batin manusia. Untuk itulah, ketika manusia menyadari ada rasa yang lain dalam dirinya, semestinya dia menyadari bahwa ada dimensi lain dalam dirinya yang disebut sebagai dimensi batiniah seorang manusia, yang tidak seorang pun dapat menyangkalnya. Sebuah dimensi yang seringkali akal manusia tidak mampu mencernanya dengan sempurna, sehingga melahirkan bentuk interpretasi yang beragam pula. Masing-masing menafsirkan sesuai dengan apa yang ada dalam benak mereka.

Maka tidaklah mengherankan apabila Allah sering mengungkapkan sindiran kepada manusia yang tidak mengakui adanya aspek batin dalam diri, yaitu apa yang disebut dengan qalbu nurani, yang letaknya pun bukanlah seperti apa yang digambarkan para ahli kedokteran berupa jantung, tapi berada dalam dimensi yang berbeda. Qalbu yang di dalamnya terletak aspek keimanan. Firmannya,

“Berkata seorang Arab badui ,‘Kami telah beriman.’ Katakanlah, ‘Kamu belum beriman, tapi katakanlah kamu telah tunduk, karena iman itu belum masuk ke dalam qalbu-mu.” (QS Al-Hujurat [49] : 14)

Qalbu juga yang menjadi tempat ujian dimana syetan yang terkutuk akan berjuang menggelincirkan dan menyesatkan manusia ke jalan kemurkaan Allah. Firmannya,

“….Bahkan qalbu mereka telah menjadi keras dan syetan pun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS Al-An’aam [6] : 43)

“Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada qalbu mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah.” (QS at-Taubah [9] : 77)

Berdasarkan beberapa ayat di atas, dapat ditarik pelajarannya bahwa, apabila kita ingin agar Alquran mampu menyentuh qalbu manusia dengan sentuhan yang benar, dimana qalbu bisa memperoleh manfaat dari Alquran, maka kita wajib mengobatinya terlebih dahulu, dengan cara menjadikan qalbu itu beriman dengan sebenar-benarnya. Oleh karena itu –bertolak dari uraian di atas— titik perhatian yang seharusnya selalu menjadi pusat pemikiran dan kerja pendidik sejak awal adalah perbaikan qalbu (ishlah al-qalb). Kegagalan dalam hal ini merupakan indikator dari adanya gejala pembodohan pendidikan, ketidaktekunan murid, atau kesalahan sistemnya.

Untuk itulah Rasulullah selalu memberikan nasihat kepada para umatnya agar selalu berhati-hati dalam menggunakan qalbu-nya.

Demikian pula ketika kita mencoba mengkaji bentuk ibadah yang telah Nabi ajarkan bagi umatnya, ibadah yang memegang peranan yang sangat penting, khususnya sangat berpengaruh benar dalam upaya menumbuhkan keimanan dan ketakwaan seorang umat Muhammad Saw., yaitu ibadah shalat.

Ketika kita hanya mengkaji ibadah ini dari aspek aturan fikih belaka, atau aturan lahiriahnya, maka tidak heran apabila kita menemukan umat Islam merasa sangat berat, apalagi ibadah ini harus dilakukannya sepanjang hidupnya sehari lima kali. Pada era modern ini, kita bahkan banyak menemukan umat sudah tidak lagi merasa bergairah menjalankan ibadah shalat, kalau tidak ingin disebut jarang melengkapi lima waktu tersebut.

Mereka yang cukup rajin pun sudah sering merasa kekeringan dalam pelaksanaan shalat tersebut. Ini disebabkan karena dimensi batinnya telah lama tidak mereka rasakan. Shalat tidak lagi dijadikan sebagai sarana indikator kedekatan mereka dengan Allah. Shalat tidak lagi dikejar karena mereka merasakan tidak banyaknya manfaat yang bisa diperoleh ketika shalat, selain dari sekedar melaksanakan kewajiban saja.

Tapi akan dirasakan berbeda apabila setiap Muslim mencari manfaat apa sebenarnya yang dapat diperoleh ketika mereka menjalankan shalat? Mengapa Allah menurunkan bentuk kewajiban shalat tersebut kepada umat Islam? Apakah shalat itu merupakan kewajiban bagi manusia agar dapat menyembah Tuhannya belaka, tanpa ada faidah bagi penyembahnya itu sendiri? Apabila pertanyaan demi pertanyaan tersebut dapat terjawab, maka umat Islam tentunya akan dapat memaknai setiap gerak hidupnya dengan benar.

Mari kita perhatikan beberapa ungkapan Nabi selaku pembawa risalah kebenaran ini.

Rasulullah bersabda,

“Apabila shalat seseorang tidak mencegahnya dari berbuat keji dan munkar, maka ia tidak mendapat apa pun kecuali semakin bertambah jauh darinya.”

Nabi juga bersabda,

“Banyak orang yang melaksanakan shalat, tetapi yang diperolehnya tiada lain hanyalah letih dan payah, karena melaksanakan shalat itu sendiri.” (H.R. An-Nasa’i).

“Tiada diperoleh seorang hamba dari shalatnya kecuali apa ada dalam pikirannya pada saat melaksanakan shalat.” (HR Abu Dawud dan Nasa’i).

Alangkah beruntungnya ketika seorang hamba memahami makna shalat sebenarnya sebagaimana Rasulullah ungkapkan,

“Ketika ia melaksanakan shalat, seorang hamba tengah bercakap mesra dan akrab dengan Tuhannya.” (HR Bukhari Muslim).

Inilah makna sebenarnya ibadah shalat, ibadah yang mengandung sebuah hubungan batin seorang hamba dengan Sang Pencipta, ibadah yang bernuansa sakral karena keyakinan manusia yang berada dalam dimensi batiniyah dalam mengadakan hubungan khusus dengan zat yang ghaib. Inilah makna ihsan.

Allah mewajibkan shalat kepada setiap umat Muhammad, karena dalam ibadah itu terkandung sebuah makna pengabdian yang tinggi seorang hamba kepada Penciptanya. Dalam ibadah shalat juga, seandainya dilakukan secara ikhlas, tidak karena semata-mata menjalankan beban kewajiban, akan diperoleh limpahan cahaya petunjuk dari Allah yang berfungsi menjernihkan hati nurani atau qalbu setiap hamba Allah yang beribadah secara ikhlas tersebut. Setiap rakaat shalat memiliki makna yang sangat mendalam karena hadirnya proses pensucian jiwa yang tadinya terkotori oleh tindakan dosa kita. Untuk itulah kering atau gersang tidaknya ibadah shalat kita bergantung dari seberapa besar motivasi kita dalam melaksakan ibadah tersebut. Sedangkan seringkali, untuk mendapatkan motivasi, kita membutuhkan ‘bahan bakar’ berupa pemahaman maupun keluasan cakrawala pandang untuk lebih memahami persoalan.

Dalam sisi dimensi batin lainnya, gerakan shalat memiliki makna simbolik yang sangat mendalam. Sejak posisi berdiri, ruku dan sujud merupakan sebuah proses perjalanan manusia dalam rangka mencari kebenaran, mencari pemilik kebenaran, proses pendakian menuju kasih sayang dan kedekatan Allah Azza wa Jalla. Simbol tersebut merupakan langkah yang harus kita tempuh dalam rangka upaya manusia agar dapat menjadikan hari ini lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok akan lebih baik dari hari ini.

Posisi berdiri melambangkan posisi akal atau rasio berada di atas qalbu manusia, artinya pada awal kehidupan, kita menempatkan akal kita terlebih dahulu sebelum menggunakan qalbu, atau bahkan tidak menggunakan qalbunya. Kondisi ini pula yang dialami oleh sebagian besar umat Islam sekarang. Mereka begitu mengagungkan akal, aspek lahiriyah dan mengabaikan qalbu dalam memutuskan kebenaran sebuah persoalan.

Bagi seorang hamba yang berharap banyak memperoleh kebenaran, dia tidak akan pernah merasa puas dengan posisi pertama. Dia akan berjuang melangkah pada posisi berikutnya yaitu posisi ruku’, yaitu memposisikan akal sejajar dengan qalbu. Ada hubungan yang seimbang dalam pertimbangan tentang sebuah persoalan, melibatkan qalbu dan akal sejajar, saling membantu dan bekerja sama, saling menyediakan dan menyatukan data ‘bumi’ dan data ‘langit’ untuk diaplikasikan dalam persoalan kehidupannya.

Dan posisi yang terbaik dalam kehidupan manusia beriman adalah posisi sujud, yang disebutkan juga oleh Rasulullah sebagai posisi terdekat seorang hamba dengan Tuhannya, yaitu ketika menempatkan qalbu di atas akalnya. Ketika akal atau aspek lahiriyah melihat sebuah persoalan, akal mencernanya dengan maksimal, baru qalbu yang telah hidup karena telah tersucikan dari dosa menjadi hakim, menjadi raja dalam memutuskan langkah berikutnya. Sedangkan pada tahap ini, rasio akan menjadi penasihat terdekat dari Qalbunya, dalam hal penerapan dan pengaplikasian petunjuk Allah ke alam mulk, atau alam fisik ini.

posisi dalam shalat

Nabi bersabda,

“Seorang hamba tidak akan pernah lebih dekat kepada Allah Swt. Kecuali ketika ia tengah bersujud.” (HR Muslim).

Saad bin Jubair pernah berkata,

“Tiada sesuatu pun di dunia ini yang kumintai pertolongan kecuali lewat sujud dalam shalat.”

Sedang ‘Uqbah bin Muslim berkata,

“Tiada sesuatu pada manusia yang lebih disukai Allah selain memperlama perjumpaan dengan-Nya. Dan tiada saat dalam kehidupan manusia yang teramat dekat dengan-Nya, kecuali ketika ia tersungkur bersujud kepada-Nya.”

Abu Hurairah ra. pernah berkata,

“Saat paling dekatnya seorang hamba kepada-Nya ialah ketika ia sedang bersujud, dan kemudian memperbanyak doa.”

Semua kata-kata tadi mengisyaratkan, bahwa untuk senantiasa ada dalam posisi terdekat dengan Allah bukanlah semata-mata kita harus sujud setiap saat. Hal ini, dalam dimensi yang lebih dalam, juga berarti seorang hamba akan senantiasa dalam keadaan yang terdekat dengan Allah ketika Qalbunya telah hidup dan suci, yang mampu menempatkan dirinya untuk berada dalam posisi diatas rasionya.

Demikianlah uraian yang sangat singkat dalam memaparkan aspek batiniyah dalam shalat, hanya sebagai contoh bahwa Allah sang pemilik segala ilmu, menempatkan semua isyarat mengenai diri-Nya, maupun petunjuk bagi hamba-Nya, di dalam segala hal di alam ini. Kompleksitas diri-Nya yang Maha Tinggi membuatnya mampu membuat segala hal mengisyaratkan dan menyimpan ilmu bagi manusia, dalam dimensi lahiriyah maupun batiniyahnya. Tentu, masih banyak lagi hikmah lain dari ibadah tersebut yang Allah ajarkan kepada setiap hamba-Nya yang yang khusus, yang Dia sucikan.

Wallahu a’lam bish-shawab.



sumber:dealova79.multiply.com/journal/item/545/_Dimensi_Batin_Ibadah_Shalat

Sholat

Bersiap berdiri dengan badan posisi tegap menghadap kiblat termasuk jari2 kaki semua menghadap kiblat ukurannya pada tepi luar kaki lurus dan sejajar tepi bahu sehingga merenggakan lebar kedua kaki sesuai dengan porsi lebar kedua bahu. Tatapan mata selalu kearah tempat sujud dan tidak memejamkan mata selama sholat dalam posisi apapun juga. Semua posisi tersebut juga harus dipertahankan pada saat sudah bangkit dari ruku maupun sujud.

Takbir Takbir mengangkat kedua tangan dengan jari2 rapat sejajar telinga maupun bahu pada situasi sholat sendiri atau cukup sampai di depan dada pada saat bermakmum. Takbir pada rakaat pertama disebut takbiratul ihram. Sedangkan takbir berikutnya dilakukan juga setelah bangun ruku dan setelah dari tasyahud awal disebut takbir intiqal.
Qiyyam Qiyyam lanjutan takbir dengan meletakan tangan kiri di antara pusar dengan dada dan tangan kanan memegang pangkal tangan kiri pada posisi atas atau bersedekap. Qiyyam ini menjadi kesatuan dengan takbir.
Rukuk Ruku’ dengan kedua kaki tetap tegak lurus sambil membungkukan badan kedepan sampai sisi belakang kepala rata dengan punggung sehingga badan dan kaki hampir 90 derajat dengan telapak tangan kanan menggenggam kaki kiri dan tangan kiri menggenggam kaki kiri pada posisi dimana tangan2 lurus juga.
I’tidal mengangkat punggung serta tangan dengan gerakan seperti takbir.
sujud1.jpg Sujud dengan meletakan kedua tangan ke lantai kemudian menyusur ke arah depan sambil dengkul menyentuh lantai hingga posisi paha 90 derajat dengan lantai lalu letakan kening dan hidung ke lantai dan siku tetap berada di atas lantai, kemudian rapatkan kedua telapak kaki.
sujud-22.jpg
sujud-31.jpg Itirasy duduk antara dua sujud dengan melipat kaki kiri kearah kaki kanan dan jari2 kaki kanan ditekuk sementara telapak kanan menghadap kebelakang sehingga dilihat dari segala sisi 90 derajat dengan lantai. Telapak tangan berada di masing2 ujung dengkul.
telunjuk1.jpg Tasyahud Awal dengan duduk seperti itirasy sambil menggerakan telunjuk kanan sebagai isyarat sementara jari2 lain tetap pada posisinya, sedangan Tasyahud Akhir sama halnya dengan duduk itirasy tetapi kaki kiri tidak diduduki melainkan di arahkan lebih ke kaki kanan.

HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIAN PADA BACAAN SHOLAT

Dzikir2 ataupun ayat-ayat harus diucapkan dengan cukup didengar telinga sendiri. Terkecuali sebagai imam ada yang syaratkan untuk di keraskan maka apabila bacaan tsb dikeraskan oleh imam hendaklah makmum menyimaknya. Diucapkan satu napas per satu ayatnya, tidak terburu-buru, dan benar-benar memaknainya.

Membaca Surat dalam sholat wajib sebaiknya membaca surat secara lengkap kecuali pada sholat sunnah tidak mengapa dari beberapa ayat pada surat yang panjang dengan tidak mengurangi makna kumpulan ayat2 tsb.

Ruku membaca dzikir2 yang disyariatkan sebanyak tiga kali ataupun lebih hingga dua belas kali.

I’tidal membaca dzikir berbarengan dengan gerakan I’tidal.

Sujud membaca dzikir2 yang disyariatkan sebanyak tiga kali ataupun lebih hingga dua belas kali lanjutkanlah berdo’a sesuai sunnah selama sujud atau cukup dalam hati jika menggunakan bahasa sendiri. Waktu sujud merupakan salah satu waktu dimudahkannya terkabul do’a.

Mengucapkan Salam berbarengan dengan gerakan salam.

Mengucapkan Amin berbarengan dengan imam dan makmum dengan dua harkat ‘A’ dan enam harkat ‘min‘ sehingga memiliki arti “Kabulkanlah”.

Semoga bermanfaat.


sumber:mydin.wordpress.com/islam/sholat/

ff

CO.CC:Free Domain
Program Affiliate Indowebmaker

dakwa ©Template Blogger Green by Dicas Blogger.

TOPO